Sabtu, 19 Februari 2011

Puisi Pada Angin


Kau sapa aku di tingkap sunyi
Tanpa ijin mengetuk batinku
Diam-diam
Sengaja, seperti pagi yang yang terbangun oleh embun
Tak sempat menghindari atau sembunyi darimu..

Kau sangat tahu kemana arahku pergi
Aku seperti mata anginmu..
Segala penjuru hatiku..

Angin,
Tiap serpih jiwa ini telah kau bawa pergi
Jauh lintasi dunia khayal, mimpi yang tersimpan di langit.
Aku  bumi,
yang jauh darimu
Memandangmu dengan tubuh tanahku, tak kuasa kemana-mana.
Tak lekang waktu.

Sabtu, 27 November 2010

Keping Satu : Yogya, Aku dan Hujan Abu-Abu

~ Semarang, 04 Nopember 2010, 19.05 WIB
..dengan tergesa aku menuju pintu rumah, melempar tas dan membuka sepatu tanpa suara.
Rumah sepi. Kuperlahan membuka gordyn pembatas ruang, tiba-tiba kudapati sesosok tua itu, kudengar isak tangis, tersembunyi. Pelan. Ibu menangis, terpaku menatap gambar hidup yang menayangkan orang-orang mati di TV. Tentang Yogya waktu itu.
Di sini sebuah catatan kecil perjalanan ini dimulai..

------------ 5 jam lalu yang lalu-------------------------

~ Yogyakarta, 04 Nopember 2010, 11.45 WIB, "Roemah Eyang"
Aku mulai panik, kukemasi pakaian dengan menyembunyikan hati yang sebenarnya. Beberapa kali masih sempat kulihat wajah indahnya tersenyum. Ekspresi yang sama. Dia selalu indah dengan senyumnya, sejelek apapun kondisinya. 
Beda dengan aku yang gampang cemas. Mungkin karena perbedaaan itu kami dipertemukan. 
Saling melengkapi. Saling menyeimbangkan.
Di luar hujan berupa abu turun deras, bak jarum mengiris langit. Yang baru kutahu akhirnya karena Merapi yg sedang marah akhir-akhir ini.
Masker kapas terpaksa bertengger menutupi mukaku. Berebut kupakai ransel punggungku, sepatu dan kacamataku yang hampir tertinggal. Sementara dia masih sibuk dengan pesan-pesan pendek dari telpon genggamnya. Sekilas siratan khawatir mulai nampak. Aku menangkapnya.
Seketika udara kotor menyergap saat kami berdua keluar. Matahari cuma bersemburat tipis, selebihnya putih abu-abu dimana-mana. Tertutup amarah Merapi.
Sebelum memutuskan pergi aku cekal lengannya. "Sebaiknya aku langsung menuju shelter Joglosemar' kataku tegas. Dia memandangku dengan penuh tanya, "..beneran gak papa?". Dengan penuh sayang kujawab "I will be ok..yang terpenting adalah adik-adikmu". Kalian harus segera meninggalkan Yogya menyusul aku, sahutku tanpa memberinya kesempatan bicara.
Meluncurlah kami berdua menyusuri Yogya abu-abu waktu itu.
Sepanjang Jl. Magelang segalanya putih tertutup debu Merapi. Orang lalu lalang dengan "atribut" lengkap : masker,jas hujan,payung dan kacamata. Terlihat seperti adegan film layar lebar. Mobil dan sepeda motor merelakan tubuhnya kotor diselimuti abu vulkanik yang merusak. Ada banyak jejak ban tertinggal di jalan aspal yang telah menjadi lautan abu. Suasana panas tapi bisu.

Kamis, 16 September 2010

Memandangmu

Dalam kubah senyapku,
aku memandangmu dalam diam,
membaca selaksa kata di matamu,
menafsirkan hujaman sirat hati.

Maka ketika aku memandangmu,
aku makin tahu, kau bulan pualam yang jatuh di wajahku
melepaskan segala pendar cahaya,
menyilaukan hatiku

Dalam kubah senyapku,
di pematang alis matamu,
ribuan kata hatiku tertutup halimun,
diam,
menelusuri jalan di setapak hatimu..

(untuk seseorang yang menyita hatiku akhir-akhir ini, September 2010)



Senin, 06 September 2010

Ramadhan Putih

Ramadhan yang putih hampir pergi,
Sudahkah dosa-dosa ini terhapuskan?
Dosa yang laksana buih di lautan,
Atau besarnya laksana bumi sembilan

Duhai Ar Rahmaan, Duhai Al Ghafur,
Sungguh aku bersujud pada-Mu bersungkur,
Merendahkan diriku dengan hina,
Kuserahkan segala pasrah kepada-Mu,
Ampunilah aku yang berdebu dosa, maafkanlah aku yang berlumur khilaf, 
Berikanlah aku pendar cahaya rahmat-Mu,
Sungguh tak ingin kujadi merugi sepeninggal bulan yang mulia ini.

Kubaca untaian Kalam-Mu penuh hati
Kubasahi lisan dengan dzikir kepada-Mu penuh lirih
Kupayahkan diriku untuk berdiri mengingat-Mu,
Semua itu hanya untuk-Mu wahai Tuhan-Ku
Sang Pemilik tubuh dan jiwaku.

Ramadhan Putih,
Tunggulah aku hingga ujung umurku.
(at the office, 06 Sept 2010)

Kamis, 02 September 2010

A Walk to Remember..

Sepenggal malam, sepenggal hati,
dilarung sungai bermuara mata air kasih.
Tulus menerima dalam balut ketetapan takdir,
Lengang-diam.
Gerimis ini penuhi kalbu,
indah, satu-satu jatuh,
dalam partiturmu.
(Yogyakarta-Semarang-Bandung 2007: 17.50 WIB)
  
*entah tiba-tiba aku ingat kamu,  menemukan sepenggal puisiku untukmu saat kita akan berpisah, ternyata kau tak pernah benar-benar pergi dari benak-ku, mengendap lekat dan hidup dalam hatiku*