Rabu, 01 September 2010

Seragam oh Seragam...!

Akhir Agustus 2010,

Siang itu, sembari dengar lagunya Jay-Z feat Alicia Keys "Empire State of Mind" saya menerima sebuah SK dari Pimpinan tentang kewajiban memakai seragam, bukan buat saya sebenarnya SK tersebut ditujukan. Tapi setelah beberapa saat SK itu beredar luas dan 'dibumbui' banyak selentingan bahwa pada akhirnya nanti seluruh pegawai juga terkena kewajiban tersebut, tiba-tiba "naluri kemapanan" saya terusik..
Terusik karena saya pikir akan memakai -seragam kreasi sendiri- hasil pemikiran dan rancangan orang-orang kami yang mempertimbangkan berbagai aspek, utamanya menampilkan karakter, budaya kerja, identitas profesi, institusi, dan eksistensi kami di masyarakat . Ternyata tidak. Kami harus memakai seragam "identitas orang lain".
Ini membuat otak saya berpikir keras, "mengapa harus memakai identitas orang lain?", apa pertimbangannya? Alur pikir "out of the box" saya tiba-tiba membantah mentah-mentah.
Bagi yang sudah terlanjur menerapkan seragam kerja, lebih-lebih sudah bertahun-tahun lamanya, efek psikologis yang perlu kita bentengi adalah munculnya false group think. Ketika individu sudah disatukan ke dalam satu korp, lama kelamaan akan melahirkan group think model.
Namanya juga model, pasti ada yang tepat dan ada yang tidak tepat (false). Malah kalau menurut hasil kajian psikologi sosialnya, yang namanya group think itu lebih banyak mengandung risk & cautious (beresiko dan perlu dikhawatirkan).
Karena itu, istilah group think mengacu pada corak pemikiran yang menyimpang (distorted style of thinking), yang membuat grup menjadi lumpuh kapasitas rasionalnya sehingga menjadi tidak efektif dan tidak produktif.
Bahasa sederhananya,  misalnya jangan sampai seragam kerja memicu illusion of confidence maupun grandiosity (merasa hebat) membuat orang arogan, mendiskriminasikan orang lain tanpa alasan, merasa paling sah berbuat sesuatu yang menganggu orang banyak, misalnya menutup jalan umum, menyepelekan pihak lain, dan seterusnya
Untuk mencegahnya, kita bisa membangun pemikiran dan kesadaran yang semakin sehat mengenai hubungan antara seragam kerja dengan kualitas kinerja, baik pribadi dan organisasi serta kontribusi nyata keberadaan organisasi tersebut bagi masyarakat. Oleh karenanya, bukti    positif harus diperlihatkan tidak sebatas tulisan atau simbol di seragam, tapi lebih penting aksi nyata baik dalam bentuk kualitas pelayanan, transparansi, hingga etika & integritas. Sehingga, simbol, logo maupun motto akan menjadi endorsement & reminder bagi penggunanya.
Dari sisi manajemen pada umumnya, tujuan seragam itu bukan untuk over acting, keren-kerenan, tetapi untuk mempersatukan berbagai karakter dan kepribadian individu dalam formula kolektif pada waktu dan kondisi  tertentu.  Atau dengan kata lain, seragam kerja itu harus menjadi sarana menciptakan budaya kerja yang dianut oleh organisasi /perusahaan. Semua perusahaan memiliki budaya. Bedanya, ada yang kuat dan ada yang lemah. Budaya kuat adalah perilaku kolektif yang sudah mencerminkan nilai-nilai, paradigma berpikir, pelajaran dari pengalaman, atau standar kualitas operasi organisasi.
Sedangkan budaya lemah adalah budaya yang tidak sinkron sama sekali atau setengah-setengahnya saja. Nilai-nilai perusahaan hanya dicetak di seragam, kop surat, atau tertulis di tembok, tapi perilaku operasinya bertentangan. Fungsi seragam di sini hanya sekedar fashion atau bisa-bisa malah memperkuat lahirnya group think yang negatif.
Jadi jelas banget kalau ternyata seragam adalah : ekspresi budaya.
Jika jelas-jelas seragam adalah ekspresi budaya, maka harus orisinil dan berkarakter sesuai pribadi institusi.
Seragam layaknya wadah ekspresi, musti menginspirasi orang yang memakainya untuk berlaku kreatif bagi kemajuan organisasi/institusinya. 
Jadi relakah Anda terpasung dalam identitas orang lain?


0 komentar:

Posting Komentar